INDOKATA.ID, LUWU - Ketua Komunitas Warga Lingkar Tambang (KWLT), Najamudin, menanggapi pemberitaan yang menyebut bahwa rumpun keluarga Ne’ Pong Titing mengalami perpecahan terkait aktivitas investasi PT Masmindo Dwi Area (MDA). Ia menegaskan bahwa sebagian besar anggota keluarga besar justru menyatakan sikap resmi mendukung kelanjutan investasi MDA.
“Yang tidak solid itu karena ada satu orang yang bertindak di luar kesepakatan, dan itu adalah Bustam Titing,” ujar Najamudin tegas.
Menurut KWLT, Bustam Titing tidak hanya menyimpang dari kesepakatan internal keluarga, tetapi juga mencederai kepentingan masyarakat luas. Aksi blokade jalan tambang yang ia pimpin disebut tidak sah secara adat maupun hukum, serta telah mengganggu distribusi logistik penting untuk perusahaan dan warga sekitar.
Najamudin menyebut bahwa sejumlah tokoh utama keluarga Ne’ Pong Titing seperti Lewi Titing dan Korri Titing, secara terbuka menolak tindakan Bustam. Mereka bahkan telah melakukan komunikasi langsung dengan pihak MDA untuk menegaskan bahwa keluarga besar tidak pernah menyetujui aksi blokade tersebut, apalagi menjadikannya sebagai alat tawar-menawar pribadi.
Dalam proses dialog, keluarga besar juga menyatakan kesediaan mereka untuk mendukung relokasi makam yang sebelumnya dipersoalkan, asalkan dilakukan dengan cara yang menghormati adat dan nilai-nilai leluhur. Lewi Titing bahkan datang langsung dari Palu untuk memimpin prosesi relokasi makam, langkah nyata yang sekaligus membantah klaim sepihak Bustam.
KWLT menilai tindakan Bustam yang menjadikan keberadaan makam sebagai dasar klaim atas tanah ±62 hektar adalah bentuk manipulasi yang berpotensi memicu konflik sosial.
“Apa yang dilakukan Bustam bukan perjuangan keluarga, tapi kepentingan pribadi yang dibungkus sentimen adat. Ini tidak bisa dibiarkan,” tegas Najamudin.
Lebih jauh, KWLT mengamati bahwa aksi pemblokiran jalan tersebut justru diikuti oleh sejumlah individu yang tidak memiliki kedekatan kekerabatan dengan keluarga Ne’ Pong Titing. Hal ini semakin menguatkan dugaan bahwa aksi tersebut bukanlah representasi suara keluarga besar, melainkan provokasi dan manuver sepihak yang berpotensi mengganggu stabilitas daerah.
“Awalnya kami enggan mencampuri urusan internal keluarga. Tapi ketika ada yang menutup jalan dan mengganggu hajat hidup orang banyak, kami tak bisa diam. Bustam telah melampaui batas,” lanjut Najamudin, seraya menyebut bahwa MDA memiliki dasar hukum untuk menempuh langkah hukum atas gangguan tersebut.
KWLT mengapresiasi langkah bijak keluarga Ne’ Pong Titing yang bersikap terbuka dan mendukung investasi secara konstruktif. Najamudin berharap pendekatan dialogis seperti ini bisa menjadi rujukan dalam penyelesaian konflik di wilayah adat.
“Sudah saatnya kita pisahkan mana yang benar-benar perjuangan masyarakat, dan mana yang hanya ambisi pribadi berkedok adat,” pungkasnya. (idn**)
0Komentar